ads

Berita

Laporan Utama

Opini

Editorial

Artikel

Liputan Khusus

Pertemuan I (Review Materi Kelas Mengalir)

Bersama Mas Dwi

Menulis itu nyatanya perjalanan berproses, atau bisa dikata sebagai habits. Seseorang memiliki potensi menulis, terlepas dari ragam latar belakangnya asal ia tak buta huruf. Dengan pembiasaan, proses menulis menjadi begitu menyenangkan dan mudah berkembang. Tetapi, acapkali dari beberapa kita enggan untuk menulis dengan segudan alasan; tulisan jelek lah, tulisan tak menjual lah, dan banyak lainnya. Padahal, tulisan berhasil terselesaikan sudah bisa diacungi jempol.

Seringkali kita dijejali oleh pikiran “menulis itu sulit.” Dan secara tak sadar kita membiarkan ia berkembang di dalam diri kita, indikasinya; keengganan untuk menulis. Sekali kita bergerak untuk menorehkan tulisan, seketika itu pula berlahan dan pasti pikiran yang tak memberdayakan mulai runtuh. Sirna seiring menulis ‘sekarang juga.’ Jadi, jadikan menulis itu seperti makan, yaitu ekspresi pemenuhan kebutuhan. Makan untuk memenuhi kebutuhan perut, maka menulis ekspresi dari katarsis, pemaknaan hidup, kepekaan terhadap lingkungan dan kebutuhan ‘pengetahuan.’

Fitrah kita adalah makhluk yang penasaran, selalu penasaran dengan hal baru yang kita sebut sebagai pengetahuan. Tersirat dalam firman-Nya, wa ‘allama aadamal asmaa akullaha, dan nabi adam diajarkan keselurhan nama-nama. Sekali lagi, mari kita ekspresikan ‘kegelisahan’ dan rasa ‘penasaran’ kita dengan menulis. Hernowo dalam bukunya Vitamin T menyebutkan menulis membutuhkan membaca, dan membaca membutuhkan menulis. Kita memahami, dan menuliskan pemahaman sebagai pemaknaan. Di sini “juga” pemfilteran dari pikiran negatif bisa dilakukan.

Karena sifat fitrah merupakan alamiah dalam diri kita, tentu saja membiasakan hal tersebut bukanlah hal yang sulit. Bahkan, menciptakan ke-ajeg-kan bukanlah perkara yang mustahil. Karena itulah sifat dasar alamiah kita, selalu ingin tahu apa saja, memaknai apa saja (tercermin dari terlalu dini menilai sesuatunya), maka menulis adalah pilihan tepat melestarikan fitrah tersebut. Mantan rektor UIN Maulana Malik Ibrahim “Imam Suprayogo” mendapatkan rekor MURI atas konsistennya menulis setiap hari selama 3 tahun. Mengapa beliau bisa? Memperkuat suplement konsep ke-ajeg-an, bisa baca artikel di sini.

Pertanyaan kemudian, bagaimana kah belajar menulis yang baik? Pertanyaan itu senada dengan bagaimana menjadi pesepak bola yang baik? Bila pintar teori, komentator yang menyiarkan itu sangat cerdas, bahkan melebihi pemain profesional. Meskipun demikian, pemain tersebut lebih bisa menjadi pemain yang lihai dibanding komentator. Hal ini menunjukkan, bahwa kemenangan seorang penulis tidak terletak pada banyak teori kepenulisan yang ia pahami, namun seberapa cakapkah ia mempraktikkan teori tersebut dengan intensitas yang banyak. Tak akan menjadikan kita mahir bermain bola, bila hanya memperhatikan bola saja, tanpa menendangnya sekarang juga.

Dengan menulis dan mempraktekkan teori, berarti ada jarak di antara keduanya. Tulisan yang terselesaikan anggaplah di dalam sebuah segi empat. Kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda dengan bermacam-macam teori yang ada. Kegunaan teori untuk membedah, menyadari kekeliruan tulisan sehingga bisa diperbaiki menjadi lebih baik. Akhir, mari membiasakan diri menulis. Sehingga ia menyatu di dalam diri kita masing-masing. [by:mg ]




Top