Editorial Majalah DeDIKASI Mei 2011
Resto, mall, supermarket,
fastfood dan junkfood berjajar mengupgrade mewarnai pembangunan kota-kota
mensejajarkan diri dengan tata kota modern. Common sense yang merebak bahwa
geopolitik, budaya, pendidikan, sosial dan ekonomi harus sesuai dengan trend, zaman,
mode, simbol kemampuan masyarakat menjadi koloni masyarakat modern, dunia
global. disadari maupun tidak modernisasi telah berimplementasi ke segala
segala bidang.
Terlepas dari modernitas yang menawarkan akses
dan progressitas, sektor ekonomi menjadi motor utama modernitas dan menjadi
tolok ukur progressitas dan kemapanan sebuah negara. Sedang negara yang sedang
berkembang telah menjadi lahan pasar investasi para koloni borjuis pemodal dari
negara-negara maju yang notabene sebagai produser dan negara berkembang sebagai
babunya, tak ayal upaya perbaikan taraf hidup memperlebar kesenjangan negara dunia
ketiga dengan negara maju.
Penekanan pembangunan
infrastruktur, perbaikan ekonomi, usaha sektor riil, stabilitas nasional serasa
upaya pemenuhan perbaikan kelas masyarakat dengan pendapatan perkapita yang
sesuai dengan iklim dunia. Padahal tercatat 6,8 miliar USD devisa dalam negeri
tahun 2009 disumbang oleh enam juta warga Indonesia yang menjadi tenaga kerja
di luar negri, dan tahun 2010 sumbangan dari TKI ini bertambah 7,I
miliar USD. Ironis ketika negara yang Tercatat 31.020.000 juta rakyatnya
menyandang predikat miskin dan menurut Badan Pusat Statistik katanya tiap tahun
akan terus menurun, tetapi hutang Indonesia ke luar negeri tahun 2007 yang
mencapai Rp 1.389,41 triliun, pada tahun 2008 Rp1.636,74 triliun, sedang tahun
2009 Rp1.590,66 triliun, di tahun 2010 hutang luar negri Indonesia mencapai
Rp1.618,24 triliun dan diperkirakan akan terus bertambah.
Kurang tegasnya pemerintah
dalam pemberantasan korupsi dan mafia peradilan, perbaikan ekonomi dan
pengentasan kemiskinan, perlindungan kaum minoritas dan penegakan hukum, secara
terus menerus tanpa ada kejelasan yang pasti dalam praktisnya menyisakan trauma
berkepanjangan kaum marhein dan ploretar serta menurunkan kepercayaan
masyarakat atas kinerja pemerintah. Demonstrasi, aspirasi dan kecaman terhadap
kinerja pemerintah yang inkompetent dan kebobrokannya menjadi acara tontonan
usang yang terus terulang bangsa yang menyandang peringkat no 69 dari 180
negara terkorup di dunia ini. kekerasan terhadap TKI, prostitusi, kriminalitas,
anarkisme, bunuh diri, narkoba, KDRT, gambaran birokrasi maha raksasa
dengan biaya yang sangat begitu mahal, total APBD tahun 2010 tembus Rp 1.047,7
Trilyun, dan 53% APBH habis untuk menggaji pegawai negara, termasuk presiden,
dewan DPR dan MPR, bupati camat sampai Kades, serta pegawai negeri sipil
lainnya dan itupun belum termasuk dana biaya perkantoran, dana pemilu dan dana
pilkada. Iron cage sebagai sangkar besi birokrasi kiasan sosiolog Max Weber
menerjemahkan sebagai upaya untuk menjadi rasional dan efisien. Statistik
keluaran pemerintah yang dipandang sebagai apology ketidakmampuan pemerintah dalam
menyelesaikan masalah dan tuntutan masyarakat, pemerintah dengan biaya yang
sedemikian besar menjadikannya birokrasi yang amburaduln bisa dirasakan saat
mengurus kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, laporan pencurian ke
polisi, laporan pungli, pengurusan tilang, pemerintah telah menjadi birokrasi
yang inefficient, incompetent dan irrasional.
Upaya dalam pembenahan moral
dan mental bangsa lewat intitusi pendidikan formal dengan metode kurikulum yang
diimplementasikan badan pandidikan nasional dalam dunia moral sangat lemah pada
efektifitasnya. Metode pendidikan yang lebih disentralisasikan pada pendekatan
kognitif dalam prakteknya menuntut pengetahuan dan menghapal konsep-konsep yang
diimpor, peserta didik tidak diberi ruang lebih berargumen, mendamparkannya
pada permasalahan yang kompleks. Alienasi secara masif dan demoralisasi. Arus
modernitas telah membawa future shock, discontinues radical atau perubahan yang
radikal. Perubahan ini menyebabkan teralienasinya masyarakat tanpa upaya
resistansi dari modernisasi yang Imbasnya moralitas masyarakat lah yang
terkikis. Pentingnya pendidikan moral di masyarakat yang menjadi motor
penggerak untuk menjembatani pembangunan moral bangsa, sehingga tercipta
kesadaran masyarakat yang serta memperhatikan sendi-sendi kehidupan.
Sedang kaum intelektual yang menyuarakan aspirasinya
hak kebebasan bersuaranya dipandang kaum radikal anarkis yang musti diadu
dengan barikade satpol PP, polisi, water cannon dan pentungan, alih-alih
substansi kritik yang diwacanakan dan diperjuangkan, miniatur politik dan
pemerintah yang telah dipermainkan, diorama demokrasi menjadi apology ketidak
mampuan pemerintah, fakta dirahasiakan, dipotong, ditata apik sedemikian rupa
menjadi perca-perca parodi, ditunggangi kepentingan, dikonstruk dalam kemasan
sedemikian rupa sebagai media legitimasi, dibungkam hukum abu-abu yangtak jelas
hitam putihnya, dan bualan janji-janji politik tak ubah kemasan sinetron yang
episodenya terus diulang tak tahu kapan akan menuju pencerahan, sampai menjadi
santapan membosankan yang harus dicerna masyarakat. Degradasi moral telah menjadi
peroblema tanpa akhir bagi bangsa ini.